Latest News

Thursday, January 7, 2021

Guru Besar Filsafat : Intensifkan kontra-radikalisme sejak pendidikan dasar

 

Jakarta - Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung Prof Dr Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan kontra-radikalisme perlu diajarkan sejak pendidikan dasar untuk membentengi diri dari paham-paham radikal dan intoleransi.


"Saya kira kontra-radikalisasi itu perlu dijalankan sejak pendidikan dasar dengan memupuk sikap pluralis dan toleran terhadap yang berbeda," katanya dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA, di Jakarta, Rabu (29/01/2020).

Menurut dia, pemerintah dalam jalur yang benar dan sudah ke arah itu. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sudah sering melakukan hal itu baik di lembaga pendidikan seperti kampus-kampus dan juga masyarakat.

"Hanya saja hal seperti itu perlu lebih diintensifkan lagi agar masyarakat ini memiliki daya tahan terhadap pengaruh-pengaruh negatif yang bisa memecah belah bangsa kita ini," katanya.

Dalam kesempatan itu ia juga menyatakan setidaknya terdapat dua penyebab penyebaran intoleransi dan radikalisme di media sosial (medsos). (teruskan baca artikel penting ini....👳👲😌👇 )
https://nasihat.iniok.com/2021/01/guru-besar-filsafat-intensifkan-kontra.html ]
"Pertama, krisis identitas di mana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan," katanya.

Oleh karena itu, pria yang merupakan ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme ini menyarankan agar masyarakat untuk selalu dapat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial, guna membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golongan tertentu saja.

Hal ini juga sekaligus sebagai upaya masyarakat itu sendiri untuk membentengi dirinya agar tidak mudah disusupi paham-paham radikal negatif dan melakukan perbuatan intoleransi terhadap pihak lain yang berbeda baik dari segi pandangan maupun pilihan keyakinan.

"Dalam arti begini, kita harus melihat bahwa radikallisme itu jelas-jelas destruktif, dan tentunya tidak mungkin dikehendaki Tuhan. Karenanya perlu kekuatan masyarakat yang kritis untuk bersatu menolaknya, dengan cara apa pun sejauh manusiawi dan non-violent (nir-kekerasan) meskipun memang tidak mudah," ujarnya.

Lebih lanjut peraih gelar Doktoral dari Pontifical University of Saint Thomas Aquinas, Italia, ini mengungkapkan bahwa kaum milenial sebagai populasi terbesar di medsos harus dibiasakan untuk melihat perbedaan sebagai suatu keindahan dalam cara berpikir.

"Di mana cara-cara berpikir yang indoktrinatif perlu dihindarkan, dan diganti dengan keberanian untuk mempertanyakan dan meragukan setiap opini dan fakta yang ada. Sikap kritis itu natural, karena otak manusia itu diciptakan Tuhan memang untuk berpikir. Hal-hal mendasar dalam hidup perlu didiskusikan, tidak cukup dijawab dengan doktrin, ayat atau sembahyang," katanya.

Selain itu, pria yang juga anggota Asosiasi Filsafat Indonesia (Asafi) ini juga menyampaikan perlunya peran serta dari pemerintah untuk menanggulangi penyebaran paham radikal melalui media sosial agar tidak semakin masif dan menjangkiti masyarakat.
Source: https://news schoolmedia.id/berita/Guru-Besar-Intensifkan-Kontrak-Radikalisme-Sejak-Pendiikan-Dasar-1601    and
https://www.antaranews com/berita/1271329/guru-besar-intensifkan-kontra-radikalisme-sejak-pendidikan-dasar


Kenal Lebih Dekat: Prof. Bambang Sugiharto, Berpikir Kritis, dan Filsafat Budaya
Berbicara tentang filsafat di Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) juga di Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari nama Profesor Bambang Sugiharto. Guru Besar Fakultas Filsafat (FF) Unpar ini dikenal sebagai ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme. Selama lebih dari 35 tahun, lulusan Doktor dari Pontifical University of Saint Thomas Aquinas, Italia ini berbagi ilmunya kepada mahasiswa juga kalangan umum.
Kali ini, Tim Publikasi Unpar berkesempatan mewawancarai beliau berkaitan dengan filsafat secara umum, serta pandangannya akan program filsafat kebudayaan yang akan segera dibuka di FF Unpar.
Mendalami Filsafat
Apa itu filsafat?. “Sekurang-kurangnya ada dua,” jelas Prof. Bambang. Filsafat bisa jadi khazanah pemikiran besar para filsuf, bisa juga sebagai cara berpikir yang mendasar. Keduanya memiliki korelasi, lanjutnya, karena, “Dengan mempelajari pemikiran-pemikiran besar para filsuf, kita berpikir mendalam dan mendasar secara rasional.”
Bagi beliau, filsafat jelas berbeda dengan teologi (ilmu agama) juga sains. “Filsafat itu pemikiran kritis secara nalar umum saja,” ujarnya. Ia mengandaikan para filsuf seumpama anak-anak, yang tidak pernah berhenti bertanya hingga melampaui batas kemampuan sains terukur. “Filsafat mencoba merenungkan pertanyaan-pertanyaan di luar kapasitas sains.” Karena itulah, tidak salah bila filsafat disebut sebagai ‘ibu semua ilmu’, sekaligus ujung semua ilmu. “Semua ilmu kalau dipikirkan lebih dalam akan jadi filosofis,” katanya.
Prof. Bambang mengakui, “Saya tipe orang yang suka merenung.” Selain itu, sejak di SMP pun bakatnya sebagai seniman telah terlihat. Misalnya, ketika ia belajar ilmu geometri yang telah jelas rutenya, guraunya, “Saya selalu cari rute lain.” Selepas sekolah, sempat terpikir di benaknya hendak menjadi Rama (Pastor) atau menjadi seniman, sebelum akhirnya memutuskan untuk menyelami filsafat.
Dalam kesehariannya, Prof. Bambang mengajar berbagai mata kuliah filsafat, khususnya yang berkaitan dengan filsafat kebudayaan. Misalnya saja postmodernisme sebagai filsafat budaya, cognitive science yang sentral dalam pergerakan kebudayaan, serta tentu pengantar filsafat, yang menurut beliau, “(Itu) basic ya, (yang) basic harus saya pegang.” Ia juga mengampu mata kuliah filsafat ilmu juga estetika.
Di luar perkuliahan, ia senang merawat dan ‘bercakap-cakap’ dengan tanaman, serta menonton film dan membaca novel.  “Novel, film, itu juga refleksi mendalam dari kehidupan manusia dalam bentuk cerita, images,” ungkapnya, sehingga ia tidak segan menyisipkan film dan bacaan fiksi dalam proses pembelajaran.
Filsafat makin penting
“Cara berpikir kritis, dalam arti mandiri, kalau di negara maju sudah menjadi seperti bagian mendasar dari kemodernannya,” jelas Prof. Bambang soal pemikiran kritis dalam keseharian. Memang, perkembangan pesat dalam masyarakat global menuntut pola pikir kritis yang, sayangnya, belum terlihat dalam masyarakat Indonesia.
Salah satu sebabnya, menurut beliau, adalah tidak berkembangnya budaya tulisan sebagai akar pemikiran kritis di Indonesia. “Begitu bangun kita menjadi modern, kita terjepit dengan paradigma budaya lisan,” tegasnya. Saat masyarakat diserbu budaya visual yang berkembang dengan teknologi informasi, masyarakat merasa ‘bebas’ berkomentar tanpa adanya pola pikir kritis hingga sampai ke titik yang chaotic. “Jadinya noisenoisy, keributan yang ngawur.”
Ini menjadi perhatian penting bagi FF Unpar, sehingga muncul langkah-langkah untuk memberikan wawasan singkat soal filsafat. Salah satunya dengan Extension Course Filsafat (ECF) yang telah diselenggarakan lebih dari 20 tahun. Peserta per angkatan ECF, kata Prof. Bambang, mencapai seratusan orang. “Kalau sudah sekian tahun, dari seratus itu kan berkembang juga,” tutur beliau. “Ada ripple effect.” Khusus mengenai agama dan kebudayaan, FF Unpar juga mengadakan Extension Course on Culture and Religion (ECCR).
Rintis filsafat budaya
Menjawab tantangan zaman, FF Unpar akan membuka konsentrasi kurikulum filsafat kebudayaan. Hal ini tidak lepas dari pergumulan manusia dengan kebudayaan yang sangat dinamis, dimulai dari konsep identitas, interaksi sosial, spasial-temporal, dan masih banyak lagi. “Di era modern dan postmodern ini,” tutur Prof. Bambang, “kebudayaan berubah total.”
“Praktis dengan itu semua, konsep manusia berubah,” jelasnya. Identitas kemanusiaan kini butuh perenungan mendalam serta mendasar. “Filsafat kebudayaan persis membicarakan hal-hal seperti itu.” Didukung oleh dosen-dosen yang telah terbukti memiliki basis kuat di bidang filsafat serta kebudayaan, diharapkan mahasiswa yang qualified dapat berkembang baik secara keilmuan juga aspek humanitasnya. “Ini potensi yang luar biasa.”
Lalu, apa saja potensi karier bagi lulusan filsafat kebudayaan? “Macam-macam kemungkinannya,” kata Prof. Bambang.  Ia mencontohkan, lulusan FF Unpar dapat mengembangkan diri sebagai kaum intelektual, seperti jurnalis, pengajar, novelis, kritikus budaya (culture critics), pegiat dan kritikus seni serta wirausahawan budaya (culturepreneur); juga bekerja di bidang komunikasi sosial sebagai copywriterstrategist, dan advertising. “Luas  sekali, (Anda) bisa merintis apapun di situ,” tambahnya.
Dengan konsentrasi baru ini, Prof. Bambang mengharapkan FF Unpar agar menjadi lebih fleksibel. “Bagaimana filsafat bisa berdampak lebih jelas bagi masyarakat,” ungkapnya, sehingga kita dapat mengejar ketertinggalan intelektualitas di Indonesia dengan cepat. “Barang sedikit (FF Unpar) bisa menyumbangkan secara signifikan ke arah perubahan keadaban,” pungkasnya. 
Source : 
http://unpar.ac.id/kenal-lebih-dekat-prof-bambang-sugiharto-berpikir-kritis-dan-filsafat-budaya/

No comments:

Post a Comment

Email : fellyginting95@gmail.com

Name

Email *

Message *