Latest News

Showing posts with label Akal Sehat. Show all posts
Showing posts with label Akal Sehat. Show all posts

Sunday, January 10, 2021

Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada, Demikian Kutipan Filosofi Dari Filsuf Besar Rene Descartes, Silakan Simak Artikel Menarik Berikut Ini.

Gambar Ilustrasi Saja

*Cogito Ergo Sum, Saya Berpikir Maka Saya Ada,* *Demikian Kutipan Filosofi Dari Filsuf Besar Rene* *Descartes, Silakan Simak Artikel Menarik Berikut Ini.*
 
"Mereka yang memilih memelesetkan diktum cogito ergo sum,  tidak memiliki pertimbangan suara hati, dan tidak mempunyai perasaan",Kata Penulis artikel ini.
 
*Rene Descartes (Istimewa)*

Kini, diktum *cogito ergo sum*, “*aku berpikir karena itu aku ada*”, sering diplesetkan menjadi, antara lain, “*aku membuat hoaks, karena itu aku ada*”, “*aku memfitnah, karena itu aku ada*”, “*aku membuat ujaran kebencian, karena itu aku ada*”, “*aku menteror, karena itu akua ada*,” dan masih banyak lain.

Adalah *René Descartes* (31 Maret 1596 – 11 Februari1650) yang pertama menggunakan frase dalam bahasa Latin itu, cogito ergo sum.” Semula frase itu ditulis Descartes, seorang filsuf, ilmuwan, dan matematikawan asal Perancis dalam bahasa Perancis, Je pense, donc je suis dalam karyanya Discourse on the Method (1637).

Walaupun secara luas dinyatakan bahwa *Descartes-lah yang pertama mengungkapkan diktum itu, tetapi ia bukanlah yang pertama menggunakan model pernyataan seperti itu*. *Plato pernah mengatakan “knowledge of knowledge.*”  Lalu di zaman yang lain, Augustinus dari Hippo (354-430) dalam De Civitate Dei menulis, Si […] fallor, sum , “Jika saya salah, maka saya ada.”

Seorang filsuf Hindu, pada abad ke-8, Shri Adi Shankaracharya, yang dikenal sebagai Bhagavatpada Acharya dan sering hanya disebut Adi Shankara menulis dengan cara serupa, “Tidak seorang pun yang berpikir, ‘Saya tidak’,” dengan alasan bahwa eksistensi seseorang tidak dapat diragukan, karena pasti ada seseorang di sana yang ragu.”

Bahkan *Aristoteles pernah menulis, “Tetapi jika hidup itu sendiri baik dan menyenangkan* (…) dan jika orang yang melihat sadar bahwa ia melihat, orang yang mendengar sadar bahwa ia mendengar, orang yang berjalan sadar bahwa ia berjalan dan sama untuk semua kegiatan manusia lainnya ada pihak yang sadar akan latihan mereka, sehingga setiap kali kita melihat, kita sadar bahwa kita mempersepsikan, dan kapan pun kita berpikir, kita sadar bahwa kita berpikir, dan untuk sadar bahwa kita memahami atau berpikir adalah sadar bahwa kita ada.”

Menurut para cerdik pandai, *interpretasi frase “cogito ergo sum” ini telah menjadi bahan perdebatan filosofis*. Diktum tersebut mengekspresikan iklim intelektual skeptis yang mengindikasikan filosofi modern awal. Ada yang berpendapat bahwa “berpikir” bukanlah sebatas aktivitas yang terjadi dalam otak atau pikiran kita. Ada pula yang menerjemahkan kata cogito sebagai kesadaran atau tindakan menyadari; jadi, *cogito ergo sum artinya saya menyadari, karena itu, saya ada*.

Dalam kamus bahasa Latin – Indonesia, kata cogito berarti (transitif): membayangkan, merenungkan, membicarakan, mempertimbangkan; dan (intransitif) berarti beranggapan, mempunyai pendapat, memikirkan. *Bagi Descartes, pikiran atau cogito itu adalah segala sesuatu yang kita sadari terjadi dalam diri kita*.(teruskan baca artikel menarik berikut di bawah ini.... 😇👰👱👇)

Akal dan Hati

Kalau Descartes yang di-Latin-kan menjadi Renatus Cartesius (mungkin karena berasal dari Cartera, sebuah kota di Spanyol), mengagungkan akal, rasio, jauh di Indonesia di zaman yang lain, Ki Hajar Dewantara secara jelas menyatakan bahwa unsur diri adalah cipta, rasa dan karsa, sebagai modalitas manusia menjalankan kehidupan dan penghidupannya di dunia. Ki Hajar tidak mengagungkan akal, pikiran semata, tetapi di sana juga ada hati.

Dengan kemampuan pikirnya, menurut Ki Hajar, manusia dapat melahirkan berbagai ilmu dan teknologi yang memudahkan hidup manusia. Dengan Perasaan, manusia dapat melahirkan berbagai rasa yang termanifestasi dalam bentuk seni, keindahan yang mencerahkan kehidupannya dan dengan kemauan (karsa), manusia dapat melestarikan hajat hidupnya berupa ambisi untuk mengumpulkan kekayaan berupa harta yang mendukung kehidupannya.

Bukankah manusia adalah mahluk hidup yang bertubuh dan berjiwa, ber-roh dan berakal-budi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa manusia mampu untuk bertransedensi (menguasai) diri dan lingkungannya. Keunikan kodrat manusia dibandingkan dengan mahluk lain adalah akal-budi yang dimilikinya. Dengan kemampuan akal-budinya, manusia memiliki kemampuan untuk “mengambil keputusan” dan “menentukan diri sendiri”.

Di sinilah nampak bahwa manusia adalah mahluk yang berdimensi rasional dan individual. Dimensi rasionalitas manusia diwujudkan dalam kemampuannya untuk mengambil keputusan-keputusan dalam hidupnya.

 Dimensi rohani manusia sebagai pribadi nampak dalam rasionalitas, sehingga manusia menjadi subyek dari segala perbuatannya. Dalam keterkaitannya sebagai sukyek dari segala tindakannya itu manusia adalah “subyek moral”. Artinya manusia menjadi subyek moral adalah pelaku tindakan yang menyadari akan hak-hak dan kewajiban-kewajiban. Sebagai subyek moral dalam segala tindakan manusia, ia dituntut tanggung-jawab atas segala perbuatannya.

Hanya saja sekarang ini, yang lebih menonjol atau dikedepankan adalah dimensi rasional dan individual, dimensi rasionalitas tanpa disertai dimensi rohani. Hasilnya adalah manusia satu dimensi. Manusia seperti ini menganggap bahwa apa yang dilakukan selalu benar, hanya berdasarkan pertimbangan rasional, tanpa pertimbangan hati. Tindak ada hati dalam bertindak. Ada anggapan yang nalar itu selalu benar.

Tanpa hati

Mengapa untuk menunjukkan esksitensinya orang harus melakukan sesuatu, melakukan tindakan yang merugikan orang lain?  Apa itu sekadar, selain untuk menunjukkan eksistensinya, untuk pemuasan diri.

Menjelang “pesta merayakan perbedaan”, pesta demokrasi 17 April 2019, yang semestinya dipersiapkan dengan penuh suka cita, yang terjadi justru sebaliknya. Saban hari, tersebar luas berita-berita hoaks, ujaran-ujaran kebencian, fitnah dan lain sebagainya.

Semua itu, membuat orang, terutama yang berdiri berseberangan, terus menumpuk rasa permusuhan; sementara yang berdiri di tengahpun semakin muak dengan semua itu. Memang, penyebaran berita palsu, hoaks dapat memenuhi tujuan-tujuan tertentu, mempengaruhi keputusan politik, dan demi keungungan ekonomi.

“Berita bohong adalah tanda sikap intoleransi dan hipersensitif, dan hanya akan menyebarkan arogansi serta kebencian. Itulah akhir dari kehonongan,” begitu pendapat Paus Fransiskus (The Truth Will Set You Free—Fake News and Journalisme for Peace, 2018).

Paus masih menambahkan, berita palsu tapi bisa dipercaya ini, menjadi awal keributan. Karena menangkap perhatian orang-orang dengan memberikan stereotip serta prasangka sosial umum yang bisa mengeksploitasi emosi sesaat, seperti kegelisahan, penghinaan, kemarahan, dan frustasi.

Cerita-cerita palsu dapat menyebar dengan cepat sehingga penyangkalan pun tidak mampu memperbaiki kerusakan yang terjadi. Akibatnya, banyak orang yang dapat dengan cepat menjadi kaki tangan penyebaran gagasan yang bias dan tidak berdasar meski sebenarnya tidak bersedia.

Maka itu, plesetan dari diktum cogito ergo sum, tersebut di atas bisa dikatakan sebagai tindakan yang tanpa hati, pun pula tak bernalar; tidak mempertimbangkan suara hati.

Mengutip pendapat Franz Bockle (1921-1941) seorang teolog moral dari Swiss, ada tiga suara hati: pertama sebagai yang mendahului suara hati, di mana suara hati memberikan pertimbangan pilihan untuk bertindak mengenai apa hasil yang akan diterima jika manusia memutuskan sesuatu yang berbeda. Pada tahap ini, kebijaksanaan seseorang merupakan hal yang penting.

Kedua, keputusan aktual dari suara hati, dan manusia bertanggungjawab atas tindakannya. Ketiga, konsekuensi suara hati. Suara hati yang baik, mengafirmasi keputusan yang diambil, yang diwujudkan dalam rasa damai atau sebaliknya jika keputusan itu salah menimbulkan penyesalan yang mendalam.

Akan tetapi, mereka yang memilih memelesetkan diktum cogito ergo sum,  tidak memiliki pertimbangan suara hati, dan tidak mempunyai perasaan. Barangkali, pada waktu itu, karena ambisinya yang meluap-luap, menggelora, mereka mampu membungkam suara hatinya sendiri.*** By Trias Kuncahyono

Artikel ini sudah dimuat di Kompas id, hari Rabu (10/1/duaribu sembilan belas).
IniOK.com

Saturday, January 9, 2021

LIDAH ORANG BERAKAL

 

Ilustrasi: Istimewa

Satu

Beberapa hari lalu, seorang kawan mengirimkan parikan model Jawatimuran, pantun jenaka, jula-juli ini:

Lontong balap khas Surabaya

Sate kerang menambah cita rasa

Bila tak mampu cakap yang berguna

Diam adalah pilihan utama

Parikan itu hanya ingin mengatakan: jangan asal ngomong! Bahasa media sosial:  jangan julid, jangan nyinyir! (kalau ngomong, ya yang nalar, masuk akal, yang mencerdaskan, dan berguna). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata “nyinyir” diartikan sebagai “mengulang-ulang perintah atau permintaannyenyeh dan cerewet.”

Tetapi, dalam media sosial kata “nyinyir” memiliki banyak arti, antara lain, asal komentar,  tukang gosip, tukang sebar aib orang, tukang kritik, waton sulaya,   menggunjing orang lain, menjelek-njelekkan pihak lain, mencari-cari kesalahan orang lain, dan tukang sebar berita hoaks. Inilah yang banyak terjadi akhir-akhir ini; bahkan makin menjadi-jadi.

Hari-hari ini, di media sosial beredar video pendek yang menggambarkan seorang bocah dengan enteng mencaci-maki pemimpin nasional dengan berakting seperti tokoh agama. Apakah si bocah tahu yang dia katakan? Apakah yang dia katakan muncul dari hati dan pikirannya sendiri? Tentu tidak! Apa yang dikatakan oleh bocah itu adalah hasil  indoktrinasi. Anak-anak ini menjadi “korban” orang-orang tua yang tak mampu mengendalikan lidahnya.

Di Inggris, misalnya, menurut berita yang beredar, jumlah anak berusia di bawah 18 tahun yang terlibat dengan kelompok ekstremis sayap kanan, meningkat. Kementerian Dalam Negeri Inggris mengungkapkan, selama  periode 2017-2018 jumlah anak yang terlibat dengan kelompok radikal mencapai 682.

Jumlah tersebut lima kali lipat dari periode 2014 hingga 2015 yang hanya sebanyak 131 anak. Pada periode 2017 hingga 2018, sekitar 24 di antaranya adalah anak-anak berusia di bawah 10 tahun. Kalau melihat yang ada di lapangan, sulit untuk dipungkiri bahwa hal serupa juga terjadi di Indonesia: makin banyak anak-anak yang terlibat dalam ujaran-ujaran kebencian,  ikut berteriak-teriak dalam demonstrasi yang semestinya tidak boleh diikutinya, misalnya. ( teruskan baca artikel menarik secara lengkap di bawah ini ... 👼👳👵👴👸👇  )
ilustrasi gambar simbol-simbol agama (Istimewa)

Dua

Orang yang memilih diam—sebagai pilihan utama, seperti dalam syair jula-juli di atas—secara sederhana menunjukkan kemampuannya menjaga lidah, menjaga mulut, mengendalikan lidahnya. “Siapa yang tidak bisa mengendalikan lidahnya, berarti tidak bisa memahami agamanya.” Begitu kata Hasan Al-Bashri (642-728), seorang sufi dari  Madinah.

Agama adalah pakaian yang mulia. Karena agama mengajarkan serba yang baik, yang mulia. Semua agama mengajarkan perdamaian dan sikap kasih pada sesama manusia.  Dasarnya adalah altruisme dan belas kasih, serta usaha memerangi musuh-musuh jiwa seperti kesombongan, amarah, atau kecemburuan—inilah yang disebut sebagai “praktik keagamaan yang nyata.” Demikian kata Dalai Lama.

Kalaupun ada ajaran atau sejarah agama-agama untuk berperang, hal itu tak dapat dijadikan argumen untuk menuduh bahwa agama an sich adalah penyebab perselisihan dan peperangan.  Meskipun demikian, tidak ada satu orang pun yang dapat menyangkal bahwa semua agama berulang kali telah menjadi alat kekerasan dan mempunyai aspek-aspek yang mendorong orang beriman untuk melakukan kekerasan, dan hingga kini semua itu masih terjadi (Hagen Berndt; 2006).

Maka itu, untuk menggambarkan keluhuran agama dalam budaya Jawa dikatakan agama ageming aji (serat WedatamakaryaKGPAA Mangkunegara IV, 1811-1881), yang bisa diartikan sebagai agama adalah pakaian orang mulia. Orang mulia bisa berarti orang yang berbudi luhur, baik budi, baik hati, murah hati, pemaaf, penuh semangat persaudaraan, berahklak baik. Orang mulia adalah orang yang bisa merasa malu karena tidak dapat menjalankan agamanya sebagaimana mestinya; yang memberikan kedamaian bagi dirinya sendiri dan bagi sesama manusia.

Dalam bahasa Jawa kata “memeluk agama” adalah ngrasuk agami. Misalnya, ngrasuk agami Islam, ngrasuk agami Katolik, ngrasuk agami Kristen, ngrasuk agami Buddha, ngrasuk agami Hindu dan sebagainya. Kata rasukan artinya pakaian.  Orang yang memeluk agama, karena itu, diibaratkan orang yang memakai rasukan atau pakaian.

Hanya saja, kini ada sementara orang yang benar-benar hanya menjadikan rasukan, pakaian (agama) sekadar simbol belaka.  Mereka tidak merasa malu lagi tidak “patuh pada nilai-nilai moral dan ajaran agama yang benar.” Tetapi, justru merasa bangga, dan menganggap itu yang benar. Mereka merasa sudah cukup dengan menggunakan “pakaian” (dalam arti yang sebenarnya) saja; sebagai simbol bahwa mereka beragama. Mereka beragama tetapi tidak beriman.

Padahal, bukankah “Tujuan pertama dan terpenting dari agama adalah percaya pada Allah, untuk menghormati-Nya dan untuk mengundang semua laki-laki dn perempuan untuk mempercayai bahwa alam semesta ini bergantung pada Allah yang mengaturnya…… agama tidak boleh memprovokasi peperangan, sikap kebencian, permusuhan, dan ekstremisme, juga tidak boleh memancing kekerasan atau penumpahan darah. Realitas tragis ini merupakan akibat dari penyimpangan ajaran agama (Dokumen Abu Dhabi)

Hal-hal tersebut, menurut Dokumen Abu Dhabi, adalah hasil dari manipulasi politik agama-agama dan dari penafsiran yang dibuat oleh kelompok-kelompok agama yang, dalam perjalanan sejarah, telah mengambil keuntungan dari kekuatan sentimen keagamaan di hati para perempuan dan laki-laki agar membuat mereka bertindak dengan cara yang tidak berkaitan dengan kebenaran agama. Hal ini dilakukan untuk mencapai tujuan yang bersifat politis, ekonomi, duniawi dan picik.

Ilustrasi: Istimewa

Tiga

Ada demikian banyak kata-kata bijak yang berbicara tentang pentingnya menjaga lidah, menjaga mulut. Raja Sulaeman dalam Kitab Amsal, misalnya, mengingatkan, lidah orang bijak mengeluarkan pengetahuan. Maka, ada orang bijak dan juga orang bebal. Masing-masing orang akan mengeluarkan kata-kata yang sangat berbeda, sekalipun semuanya memakai lidah.

Orang yang berhikmat akan mengeluarkan kata-kata yang berpengetahuan, yaitu kata-kata yang mengandung kebenaran, yang menguatkan, memberikan semangat baru, dan sebagainya. Sebaliknya, orang yang bebal akan mengatakan hal-hal yang merusak relasi, menyakitkan, bahkan terbiasa dengan kata-kata kotor, yang diungkapkan tanpa melihat apakah menyakitkan hati atau tidak. (Ada orang bebal, yang merasa bijak).

Demikian pula banyak kaum cerdik cendekia, yang memberikan nasihat tentang hal itu. Banyak kaum yang terlibat konflik akibat seseorang yang tidak pandai menjaga lidahnya, mengendalikan lidahnya, menjaga mulutnya. Banyak pula hubungan perkawanan atau persaudaraan yang rusak, putus karena lidah dan mulut yang tidak terkendali. Bahkan, banyak pula rumah tangga rusak karena ketidakmampuan mengendalikan lidah dan mulut entah suami atau istri.

Negara pun bisa hancur berantakan kalau para pemimpin, tokoh masyarakat, tokoh agama, elite masyarakat, elite politik, dan mereka yang merasa dirinya tokoh, tidak mampu mengendalikan lidahnya. Karena sepatah kata orang bisa dianggap pandai, tetapi karena sepatah kata pula orang bisa dianggap bodoh. Bahkan, tidak hanya dianggap bodoh, melainkan dianggap tak tahu etika, tidak tahu tatakrama, dan lebih parahnya lagi dianggap tak berbudaya, tak berkeadaban.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) menjelaskan kata “adab” berarti kehalusan dan kebaikan budi pekerti; kesopanan; akhlak. Sedangkan kata “keadaban” berarti ketinggian tingkat kecerdasan lahir batin; kebaikan budi pekerti (budi bahasa dan sebagainya). Karena itu, bila disebut “tak berkeadaban” berarti tidak memiliki kebaikan budi pekerti; tidak memiliki kecerdasan lahir batin yang tinggi; tidak berakhlak.

Itulah sebabnya, Imam Abu Hatim (811–890), seorang ulama besar, ahli hadis, dan juga ahli tafsir, mengatakan bahwa lisan orang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan berbicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam. Sementara orang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya.

Dasamuka, simbol angkara murka (Ilustrasi: Istimewa)

Akan tetapi, mengapa masih juga banyak orang, termasuk para elite politik, elite agama, tokoh masyarakat, tokoh bangsa, dan juga yang mengklaim dirinya sebagai tokoh membiarkan lidah dan mulutnya tanpa kendali. Banyak ujaran kebencian, fitnah, sumpah-serapah dan segala bentuk uncapan yang tidak mencerminkan keadaban, tidak mencerminkan tingginya budi pekerti, tidak mencerminkan kecerdasan lahir batin, tidak mencerminkan tingginya kepandaian, berseliweran.

Kita boleh saja tidak menyukai apa yang kita lihat. Tidak suka dengan apa yang orang lain perbuat atau segala sesuatu yang membuat mulut kita berkomentar. Namun, menurut nasihat orang-orang bijak, bukan berarti kita lantas bisa seenaknya berkomentar tanpa mempertimbangkan akibatnya. Sebab, lidah juga diibaratkan seperti api yang dapat membakar hutan dan dianggap ‘dunia kejahatan.’

Apa yang diucapkan seseorang, sebenarnyalah mencerminkan apa yang ada di dalam hati. Di dalam hatilah yang membisikkan sebuah akhlak manusia yang sebenarnya. Kata-kata yang dikeluarkan seseorang dari mulutnya adalah kondisi dari hatinya. Entah itu bahasa kasar, kotor, umpatan, kata-kata yang merendahkan dan penuh kebencian adalah kata-kata yang menunjukkan karakternya yang sebenarnya.

“Manusia unggul selalu rendah hati saat berbicara, tetapi selalu luar biasa dalam tindakan,” begitu kata Confucius (551–479 SM), filsuf terkemuka China. Mengendalikan lidah memang lebih sulit daripada mengendalikan api atau menjinakkan binatang. Tanpa dikekang, lidah bisa menjadi liar. Kadang mengucapkan berkat, kadang kutuk. Tidak konsisten. Jika ini terjadi, mana bisa menjadi teladan? Mana bisa menjadi panutan? Mana bisa dipegang perkataannya?

Itulah sebabnya,  orang-orang bijak bestari mengatakan, mulutmu harimaumu. “Ajining diri ono ing lati,”  kemuliaan diri ada di lisan. “Lidahmu jangan kamu biarkan menyebut kekurangan orang lain, sebab kamu pun punya kekurangan dan orang lain pun punya lidah.” Begitu kata  Imam Syafii (767-820 M).

Ibarat kata, orang dengan balok di matanya tidak seharusnya mengeluarkan selumbar dari mata orang lain. Maka parikan Jawatimuran di atas, “Bila tak mampu cakap yang berguna; Diam adalah pilihan utama,” benar adanya.

 *** By Trias Kuncahyono

Source : https:// triaskun.id/2020/12/19/lidah-orang-berakal/

https://nasihat.iniok.com/2021/01/lidah-orang-berakal.html

NASIHAT.IniOK.com


Email : fellyginting95@gmail.com

Name

Email *

Message *