Latest News

Friday, December 6, 2019

Jadi masalah kesehatan di Indonesia ruwet sekali


Copas dr seorang Alumni  ITB.....
Mas Indra ini kayak kasi umpan terus jadi cerita Kho Ping Hoo nya bersambung.

Nah skrg kita bahas soal dokter. Kita mesti menekan pemerintah utk membereskan arogansi IDI dan Kolegium (asosiasi dokter spesialis tertentu). IDI dan Kolegium sdh ngga beres dan terlalu berkuasa dalam memberikan Surat Ijin Praktek Dokter. Sdh membentuk semacam oligarki.

Belum lagi cara rekrutment calon dokter spesialis yg bukan berdasarkan meritokrasi tp cendrung koneksi. Keponakan sy yg nilainya paling tinggi se Indonesia dan test masuk spesialis lolos terbaik bisa tidak diterima krn sdh penuh dengan calon yg masuk yg punya koneksi di dalam, biarpun test nya ngga lulus. Lalu bisa dibayangkan bagaimana kualitas dokter spesialis di Indonesia kelak kalau tidak diberesin.
Dokter hebat yg ambil spesialis di LN balik ke Indo dipersulit macam persyaratan, mesti adaptasi dulu sekian tahun padahal dia jebolan universitas atau RS terbaik di dunia.

Kenapa dunia kesehatan Malaysia lbh maju dari Indonesia, krn Malaysia banyak kirim mahasiswa kuliah terutama di UK utk kedokteran. Dulu anak sy kuliah kedokteran di UK bayar sendiri. Bahkan dari Indonesia cuman dia sendirian yg kuliah di sana. Anak2 Malaysia dibayarin negara. Balik negaranya bisa lsg praktek ngga dimintain macam2 yg aneh2.

Di negara Asean rasanya Indonesia akan tersalip banyak negara lain. Skrg yg sedang naik daun  adalah Thailand. Gimana tidak tersalip, wong dokter Thailand lulusan spesialis US dan UK dipermudah. Akibatnya kualitas pelayanan kesehatan menjadi setara negara maju. Salah satu yg terkenal di Thailand adalah RS Bumrungrad, dimana jumlah pasiennya setahun 1 juta org dan separonya asing!. Medical tourism nya jalan. Bahkan Bumrungrad sdh mengimplementasikan Artificial Inteligence dgn mengadopsi IBM Watson. Kita kalah jauh. Pendapatan Bumrungrad yg hampir 4T per tahun hanya dari satu RS telah mendatangkan devisa bagi kerajaan Thailand.

Indonesia malah kebalik. Kita masih berkutat mabok agama, bekutat BPjS yg masih carut marut. Malaysia dan Thailand sdh berhasil menyaingi Singapore.

Jadi urusan pendidikan profesi dokter termasuk spesialis dan sub spesialis mesti dibenahi.

Kolegium juga jahat, seorang dokter spesialis muda yg mau masuk kerja di suatu kota harus minta ijin, minta ttd satu per satu seniornya di kota itu begitu ada yg menolak maka SIP ngga keluar dan ngga bisa praktek.

Ini bikin jengkel RS juga. Kami butuh tenaga dokter tp diblok Kolegium. Alasannya gak masuk akal yaitu supply dan demand, serta urusan persaingan. Dokter2 kita tidak siap dengan persaingan. Padahal dengan bersaing maka pelayanan yg diterima pasien makin bagus.

Dokter juga suka nyebelin dan arogan thdp pasien. Tp tunggu tanggal mainnya. Dengan perkembangan teknologi digital cara2 itu akan terdisrupsi. Dokter akan di rating oleh netizen. Dokter yg jelek pelayanannya lama3 tidak laku.
Sy usul SIP jangan dikasi organisasi profesi tp diatur pemerintah saja. Bersaing ya gapapa biar pelayanan dokter ke pasien makin bagus.

Dunia sdh berubah paradigma pelayan kesehatan ke arah patient and family experience. Kita masih berkutat pada arogansi dokter.

Kenapa harga pelayanan kesehatan kita kalah dengan Malaysia dalam hal biaya? Banyak org kita pergi ke KL atau Penang utk berobat, karena kualitas lumayan bagus dan harga miring. Apakah dokter Malaysia murah bayarannya? Jawabnya tidak! Fee dokter Malaysia lbh tinggi.
Cuman semua keperluan sparepart kesehatan di kita kena pajak. Pasang stent di Penang lbh murah dari Jakarta. Ya krn di Malaysia semua bea masuk dan pajak stent itu nol sementara kita tidak.

Dokter kita bisa pasang pompa jantung LVAD utk pasien gagal jantung. Jantung diganti oleh pompa elektrik. Cuman harga LVAD di indo 3.7M belum termasuk pasang. Sementara di Malaysia 3M sdh beres semua terpasang. (Org skrg bisa hidup tanpa detak jantung ya, pakai pompa).

Jadi masalah kesehatan di Indonesia ruwet sekali. Bukan buat mid low dgn BPjS tetapi juga utk mid up.

Berapa banyak devisa keluar ke Singapore, Malaysia, Thailand, Jepang, Australia tiap tahunnya. Coba saja browsing di internet pasti akan kaget. Lebih dari 100T per tahun duit Indo lari ke LN utk pemeliharaan kesehatan. Pejabat2 dan para org berduit masih lbh suka ke Singapore.

Negara lain sdh mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi tinggi di bidang kesehatan, sementara kita masih berkutat di penyakit infeksi krn sanitasi buruk dan tdk higienis.

Masalah utama kualitas kesehatan di Indo juga ada pada diagnosa. Kita sangat lemah dan sering keliru. Layanan kesehatan tidak terintegrasi. Kita mesti ketemu dokter spesialis satu persatu. Mereka sulit bekerjasama. Ini juga karena pendidikan kedokteran di Indo cenderung mendidik sebagai manusia individualis bukan teamwork. Pendidikan di UK ada mata pelajaran Komunikasi, bahkan ujiannya tergolong sulit karena pakai aktor. Misalkan bagaimana kita hrs menjelaskan ke pasien (hak pasien) bhw dia terdiagnosis ke Cancer. Atau bagaimana kita menghandle pasien yg marah2 atau komplain (complain handlng).

Rata2 dokter kita apalagi yg tua sulit berkomuikasi dgn pasien dan merasa paling hebat. Giliran kita mau minta second opinion (padahal hak pasien), malah dia ngamuk.

Diagnosa bergantung pada alat. Kalau dokter bisa mendiagnosa tanpa alat itu namanya dukun. Mau tahu pendarahan di otak atau penyumbatan (karena symptom nya sama) kita perlu CT Scan. Ngga bisa nebak krn obatnya berlawanan.

Bayangkan negara kecil spt Singapore punya 15 PET Scan yg bisa mendeteksi penyebaran sel kanker. Indonesia dengan populasi 260 juta hanya punya 4 PET Scan. Kan gila!!

Kenapa begitu. PET Scan harga tidak terlampau mahal hanya sekitar 15M. Yg mahal justru Cyclotron utk memproduksi radioaktif utk dipakai di PET Scan. Harga Cyclotron sekitar 40M. Di LN Cyclotron bisa dipakai utk 10 RS. Di Indonesia harus 1 RS punya 1 Cyclotron. Kenapa krn para petinggi yg membidangi ini kurang kreatif dan kebanyakan administrator yg mesti digebrak2 utk bisa mencari solusi.
Katanya RS bukan pabrik obat, RS tdk bisa menjual kelebihan radioaktif ke RS lain, krn kalau ada pabrik obat harus menerapkan CPOB. Akhirnya ya begitulah.

Sy punya banyak cerita ttg bagaimana kita terbentur regulasi yg membuat kita tidak bisa adaptif.

Sy mau bikin Mobile Stroke Unit dimana di ambulans dipasang Head CT Scan dan bisa dilakukan tindakan cepat di ambulans agar dampak stroke minimal. Krn makin lama sel2 otak yg mati makin banyak shg recovery nya makin berat. Apa yg dibilang. Wah belum ada regulasinya. Kalau melakukan tindakan di mobil itu kategorinya apa ya apakah RS berjalan. Nah loh.

Sementara di India Mobile Stroke Unit sdh populer dan sdh menyelamatkan begitu banyak pasien stroke.

No comments:

Post a Comment

Email : fellyginting95@gmail.com

Name

Email *

Message *